Sabtu, 01 Desember 2012


PENDAHULUAN
Ada beberapa masalah khusus yang dihadapi manajemen dalam proses pengendalian perusahaan multinasional, seperti pengendalian pada lingkungan domestik, dan dalam lingkungan global yang diawali dengan tujuan strategis, termasuk semua elemen perencanaan dan pengawasan kesuksesan strategi global untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Fokus dari proses perencanaan adalah memberikan arah strategi bagi perusahaan dan kemudian rencana operasional agar perusahaan dapat mencapai arah strateginya. 

PROSES PENGENDALIAN STRATEGIS
Sebuah studi mengenai perusahaan multinasional oleh Gupta dan Govindarajan (1991), mengidentifikasikan 4 tingkatan dalam sistem pengendalian strategis formal, antara lain:
1.    Strategi periodik untuk setiap bisnis, khususnya dalam kurun waktu 1 tahunan atau kurang
2. Rencana operasi tahunan, yang semakin memasukkan ukuran-ukuran nonfinansial bersama dengan ukuran-ukuran finansial tradisional
3.    Pengawasan formal hasil-hasil strategis yang dapat dikombinasikan dengan proses pengawasan anggaran
4.    Penghargaan personal dan campur tangan pusat
Sistem pengendalian strategis yang terlalu kaku dapat mempersulit perusahaan di mana dengan cepat dapat mengubah industri, namun ada beberapa manfaat yang jelas dari sebuah proses formal, yaitu:
1.    Kejelasan dan realisme yang lebih dalam perencanaan
2.    Lebih banyak kekenduran standar kinerja
3.    Lebih banyak motivasi bagi manajer unit bisnis
4.    Campur tangan manajemen pusat lebih tepat pada waktunya
5.    Tanggung jawab yang lebih jelas
Untuk beberapa sistem kerja, penting untuk memilih tujuan strategis yang benar didasarkan pada analisis persaingan dan kekuatan perusahaan. Kemudian, target yang wajar disusun sesuai dengan strategi perusahaan. Beberapa perusahaan mencoba menetapkan tolak ukur kinerja mereka berdasarkan pada pesaing kunci, tapi biasanya sulit untuk mendapatkan data yang bagus dari pesaing global. Sistem harus diperketat dan diberi banyak persyaratan untuk memberikan tekanan bagi manajemen untuk melakukannya. Penting untuk tidak membiarkan proses menjadi terlalu besar, kompleks, dan birokratis di mana hal ini membuka jalan untuk berpikir kreatif dan kinerja yang kuat. Mencoba untuk menerapkan konsep ini dalam lingkungan global tidaklah mudah. Lingkungan operasi yang berbeda membuat hal ini menjadi sulit dan kompleks untuk menegakkan dan mengimplementasikan sistem pengendalian strategis. Lingkungan operasi termasuk juga budaya, sistem perundang-undangan, perbedaan politik, dan sistem ekonomi, termasuk ukuran dan pertumbuhan inflasi dan pasar.

STUDI EMPIRIS MENGENAI PERBEDAAN AKUTANSI MANAJEMEN DAN PRAKTIK PENGENDALIAN LINTAS BANGSA

Pengaturan Tujuan: Sebuah Tinjauan Global
Kesepakatan besar telah ditulis dalam strategi bagi perusahaan. Dalam hubungannya dengan multinasional, pengaturan tujuan strategis biasanya mengharuskan manajer untuk fokus memilih target numerik yang pantas.
Target-target yang memungkinkan termasuk:
1.    Return on investment (ROI)            5. Pangsa Pasar
2.    Penjualan                                       6. Profitabilitas
3.    Pengurangan Biaya                         7. Aktualisasi anggaran
4.    Target kualitas
Metode yang paling tepat untuk digunakan dalam perusahaan multinasional, menurut teori, menegaskan fokus dari unit untuk setiap target yang disusun. Penjualan atau pangsa pasar paling relevan untuk unit yang tidak mempunyai kontrol terhadap kos masukan and mempunyai tujuan utama untuk menjual barang dari beberapa unit lainnya. Profitabilitas yang diukur dalam rasio atau beberapa ukuran lainnya, paling tepat untuk unit bisnis strategis yang berdiri sendiri. Sebagai tambahan, target untuk sebuah unit harus dihubungkan bukan hanya dengan tujuan, tapi juga dengan bagian operasi yang dikendalikannya.

Studi Perusahaan Multinasional Amerika Serikat
Dalam salah satu studi pertama yang penting dari tujuan perusahaan multinasional, Robbins dan Stobaugh (1973) mempelajari hampir 200 perusahaan Amerika berbasis multinasional, mewakili hampir semua industri utama Amerika Serikat dengan investasi asing dan peringkat penjualan impor tahunan mulai dari 20 juta dolar ke atas.
Dengan memperhatikan pengukuran kinerja keuangan, kesimpulan utama dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.    Banyak item berwujud dan tak berwujud yang masuk dalam kalkulasi investasi orisinil jarang dimasukkan dalam mengevaluasi kinerja anak perusahaan asing. Sebagai contoh, nilai atau kos dari perusahaan induk yang berasal dari jaminan untuk perusahaan anak, kos dari inventaris saham pengaman untuk operasi Amerika Serikat dan luar negeri, atau kos potensial dikeluarkan dari pasar oleh pesaing yang bergerak pertama kali.
2.    Perusahaan anak asing dinilai dengan basis yang sama dengan perusahaan anak domestik.
3.  Ukuran kinerja yang paling bermanfaat untuk semua anak perusahaan adalah Return On Investment (ROI).
4. Karena adanya keterbatasan inheren dan masalah dalam kalkulasi kewajaran ROI untuk semua perusahaan anak, hampir semua perusahaan multinasional menggunakan beberapa perlengkapan tambahan untuk mengukur kinerja perusahaan anak.
5.    Pengukuran tambahan yang paling luas digunakan adalah perbandingan dengan anggaran.
Pendukung tambahan untuk penemuan ini berlanjut bahkan sampai 25 tahun setelah studi orisinil. Dengan 70 sampel perusahaan kimia multinasional Amerika Serikat, ditemukan bahwa pengukuran berganda digunakan, antara lain laba, ROI, dan anggaran berbanding aktual untuk laba dan penjualan. Abdallah dan Keller (1985) melalui survey terhadap 64 perusahaan multinasional Amerika Serikat mengidentifikasi empat faktor kunci. Serupa dengan studi yang lainnya, anggaran, laba, dan ROI mendominasi daftar.

Studi Perusahaan Multinasional Inggris
Appleyard, Strong, dan Walton (1990) mempelajari tujuan kinerja dari 11 perusahaan multinasional Inggris dan menemukan bahwa perusahaan-perusahaan Inggris lebih suka menggunakan perbandingan anggaran dan aktual, kemudian beberapa menggunakan ROI. Dalam pengukuran ROI, pengukuran laba juga menggunakan laba sebelum bunga dan pajak atau laba setelah bunga sebelum pajak, walaupun tarif pajak berbeda secara signifikan antarnegara. Sebagai tambahan, mereka menemukan bahwa perusahaan Inggris cenderung menggunakan pengukuran ROI yang sama untuk perusahaan anak asing seperti yang mereka gunakan untuk perusahaan anak domestik.

Studi Perusahaan Multinasional Jepang
Studi di negara-negara yang mempunyai kebudayaan yang berbeda secara signifikan dengan Amerika Serikat biasanya memberikan hasil yang sangat berbeda. Shields, Chow, Kato, dan Nakagawa (1991) melihat kembali penggunaan sasaran oleh perusahaan multinasional Jepang dan Amerika Serikat seperti ditemukan dalam literatur dua negara dan mengidentifikasi beberapa penggunaan sasaran kinerja yang penting untuk mengevaluasi manajer divisi. Orang-orang Jepang cenderung mengandalkan penjualan sebagai kriteria yang paling penting, sementara perusahaan Amerika Serikat lebih suka menggunakan ROI.
Sama halnya, Bailes dan Assada (1991) mempelajari dan membandingkan sasaran dari 256 perusahaan multinasional Jepang dan 80 perusahaan multinasional Amerika Serikat. Responden diminta mengidentifikasi tujuan pertama, kedua, dan ketiga dari manajer divisi. Ditemukan, bahwa kebanyakan perusahaan Jepang lebih suka menggunakan volume penjualan sebagai tujuan keseluruhan mereka, dengan laba bersih setelah overhead perusahaan dinomorduakan. Sedangkan Perusahaan Amerika cenderung menggunakan ROI sebagai tujuan manajer divisi diikuti dengan laba yang dapat dikendalikan.

Studi Perusahaan Multinasional APEC
Melihat wilayah Asia Timur, penelitian Merchant, Chow, dan Wu (1995) menemukan sedikit fakta yang menganjurkan hubungan antara budaya nasional dan tujuan perusahaan di Taiwan. Namun, sampel yang diambil hanya terdiri dari empat perusahaan. Membandingkan sudut pandang lebih dari 400 manajer di Australia, Amerika Serikat, Singapura, dan Hong Kong, Harrison dan Harrell (1994) secara sederhana menyimpulkan bahwa manajer dari Anglo-American lebih suka jangka waktu yang pendek tapi sasaran yang lebih kuantitatif. Studi ini akan didiskusikan lebih lanjut pada bagian penganggaran. Secara bersamaan, studi ini menemukan bahwa tujuan perusahaan dari berbagai negara sangat berbeda. Negara-negara Asia dengan tingkat individualisme yang rendah dan lebih berorientasi jangka panjang cenderung memilih tujuan yang kurang secara langsung menggambarkan pengembalian dengan segera, dan memilih tujuan yang sesuai dengan profil dominan pasar jangka panjang.

Proses Anggaran Lintas Negara: Dasar-dasar
Proses anggaran menyangkut penentuan tujuan perusahaan dan mengaturnya ke dalam rencana formal, termasuk jangka pendek maupun jangka panjang. Isu-isu yang umumnya perlu dipecahkan adalah:
1.        Adakah sebuah proses pengaturan anggaran secara formal?
2.        Siapa yang terlibat dalam proses anggaran dan bagaimana?
3.        Model komunikasi apa yang digunakan?
4.        Bagaimana tujuan anggaran diatur?
5.        Haruskah proses pengganggaran sama antara perusahaan anak domestik dan asing?
6.        Periode waktu apa yang seharusnya digunakan (jangka pendek atau jangka panjang)?
7.       Apakah seharusnya ada tujuan moneter khusus untuk rencana tersebut, atau apakah tujuan nonkuantitatif akan lebih tepat?
8.        Bagaimana perubahan industri dan/atau perbedaan lingkungan nasional mempengaruhi proses anggaran?

Studi Lintas Negara terhadap Patisipasi dalam Penganggaran
Kebanyakan praktik Anglo-American untuk masalah penganggaran mengasumsikan bahwa proses anggaran hasilnya meningkat melalui partisipasi orang yang terlibat dalam melaksanakan anggaran. Jika manajer diizinkan untuk berpartisipasi terhadap target anggaran mereka sendiri, mereka tidak hanya merasa lebih baik dalam hal kepuasan tapi juga cenderung untuk berkinerja dengan lebih baik. Jenis perilaku ini didokumentasikan dalam karya penelitian Brownell (1982), yang menganjurkan bahwa agar partisipasi dapat bekerja dengan maksimal, manajer harus merasa seperti orang dalam. Konsep mengenai orang dalam/orang luar digambarkan sebagai “area pengendalian”

Studi Perusahaan Meksiko. 
Ditetapkan bahwa Meksiko adalah negara dengan jarak kekuasaan yang tinggi/budaya individualis yang rendah. Frucot dan Shearon (1991) mengantisipasi bahwa manajer Meksiko mungkin tidak menyukai partisipasi walaupun memiliki status sebagai orang dalam. Frucot dan Shearon (1991) menguji hipotesis mereka dengan sampel 83 manajer Meksiko yang bekerja di perusahaan pribumi dan perusahaan anak dari perusahaan multinasional Amerika Serikat. Awalnya, hasil yang diperoleh mengejutkan. Secara keseluruhan, kinerja manajer Meksiko dalam perusahaan pribumi asli berhubungan dengan partisipasi dan area pengendalian. Untuk itu, awalnya muncul bahwa tidak ada perbedaan antara perilaku manajer Meksiko dan Amerika Serikat.
Tidak seperti manajer Amerika Serikat, dimensi orang dalam/orang luar tidak mempengaruhi tingkat kepuasan manajer Meksiko (dalam perusahaan pribumi asli). Dalam studi awal, manajer perusahaan tampak lebih senang dan termotivasi oleh tingkat partisipasi yang lebih tinggi tanpa menghiraukan apakah mereka melihat dirinya sendiri seperti sedang mengatur sebuah pertunjukan. Namun, ketika sampel manajer Meksiko dibagi berdasarkan tingkatan perusahaan, manajer level bawah sepertinya lebih memilih jenis partisipasi yang lebih rendah.
Perhatian utama bagi perusahaan multinasional adalah bahwa manajer Meksiko dari anak perusahaan asing menunjukkan hampir tidak ada keinginan untuk berpartisipasi dalam proses penganggaran. Tidak seperti rekan mereka orang Amerika, mereka menganggap diri mereka tidak memiliki kekuatan dan proses penganggaran sebagai orang asing. Orang Amerika atau, dalam masalah tersebut, perusahaan Inggris, akan menerima kejutan yang tidak menyenangkan ketika mereka menyadari bahwa para pekerjanya di Meksiko memiliki komitmen yang rendah terhadap proses anggaran dan mereka mungkin hanya memberitahukan kepada manajernya apa yang mereka harapkan untuk didengar manajernya.

Studi Perusahaan Multinasional APEC.
Perbandingan Australia (jarak kekuasaan yang rendah/individualisme yang tinggi) dan Singapura (jarak kekuasaan yang tinggi/individualisme yang rendah). Harrison (1992) mengantisipasi perbedaan internasional yang signifikan dalam hal kemampuan partisipasi anggaran untuk menjelaskan tingkat kepuasan di antara manajer. Muncul dari budaya otorisasi yang relative, orang-orang Singapura diharapkan untuk tidak menyukai atau mungkin merasa tidak nyaman dengan pastisipasi anggaran. Harrison membuat hipotesis bahwa orang-orang Singapura akan lebih memilih partisipasi yang rendah daripada orang-orang Australia. Kenyataannya, tidak ada hubungan yang signifikan antara asal usul bangsa dan partisipasi, interaksi dan kepuasan. Secara keseluruhan, kedua kelompok ini terlihat lebih menyukai penganggaran jenis partisipatif. Untuk itu, Harrison berpendapat bahwa partisipasi terhadap hal yang berhubungan dengan anggaran secara universal meningkatkan kepuasan kerja tanpa menghiraukan budaya.
Secara keseluruhan, penelitian terbaru muncul untuk mengindikasikan bahwa beberapa teknik anggaran partisipatif orang-orang Barat dapat ditransfer, tetapi satu hal yang harus diperhatikan adalah pada level apa mereka ditransfer.

Studi Perusahaan Multinasional Raksasa Finlandia. 
Hassel dan Cunningham (1996) mempelajari pengaruh partisipasi dalam proses penganggaran dan kinerja anak perusahaan dari perusahaan multinasional raksasa Finlandia. Mereka menemukan bahwa luas dari informasi yang dipertukaran antara manajer induk perusahaan dan anak perusahaan berpengaruh positif terhadap kinerja anak perusahaan domestik. Namun, pertukaran informasi tidak mempunyai pengaruh terhadap kinerja anak perusahaan asing.
Hassel dan Cunningham menjelaskan hasil yang diperoleh dengan menunjukkan bahwa kinerja tingkat domestik ditingkatkan karena budaya, nilai, dan pemahaman yang jelas akan lingkungan ekonomi antara induk dan anak. Penemuan ini beralasan karena operasi perusahaan induk berada dalam lingkungan yang sangat berbeda dibandingkan anak perusahaan mereka di luar negeri. Untuk itu, proses penganggaran lebih dari sekedar alat kinerja, melainkan menjadi elemen kunci dalam transfer pengetahuan dalam hal pembubaran perusahaan multinasional baik secara geografis maupun budaya.

Persoalan Lainnya dalam Proses Penganggaran
Penelitian mengenai proses penganggaran berkembang di negara berbeda yang fokus utamanya berbeda antara Anglo-American dan kelompok budaya Asia. Belakangan ini, penelitian di area ini, lebih dulu difokuskan di Asia, kemudian beralih ke wilayah ASEAN yang biasa disebut area “Five Dragon” atau “Mini Dragon”. Area ini meliputi Hong Kong, Singapura, Taiwan, Malaysia, dan mungkin Thailand dan Indonesia. Meskipun kelompok ini tidak monolitis dalam struktur kebudayaan, kelompok itu umumnya nampak seperti memberikan nilai Confucian, yang meliputi orientasi jangka panjang dan ketidakinginan untuk “kehilangan muka”. Kebudayaan Asia ini cenderung dianut oleh warga negara di hampir semua negara dalam kelompok yang cenderung menundukkan hak individual untuk kepentingan kelompok dan yang tingkat jenjang kekuasaannya menengah hingga tinggi.

Perbandingan Amerika Serikat/Jepang.
Bailes dan Assada (1991) membandingkan perilaku penganggaran dari daftar 80 perusahaan Amerika Serikat dan 256 perusahaan Jepang. Hasilnya mengindikasikan bahwa lebih dari 90 persen perusahaan di kedua negara tersebut menyediakan anggaran induk/utama. Bagaimanapun, mereka menemukan bahwa proses pembuatan anggaran induk ini bervariasi. Berikut ini poin-poin yang berpengaruh secara statistik:
1.    Rentang waktu rata-rata yang digunakan untuk menyiapkan anggaran tahunan hampir 12 hari lebih lama untuk perusahaan Amerika dibandingkan perusahaan Jepang.
2.    Seperti yang didiskusikan sebelumnya, di Jepang, tujuan utama anggaran adalah meningkatkan volume penjualan dan market share. Sedangkan di Amerika Serikat, tujuan utama anggaran adalah ROI yang berlimpah.
3.    Manajer divisi di perusahaan Amerika lebih cenderung berpartisipasi dalam diskusi komite anggaran dan mempengaruhi komite anggaran dibandingkan di Jepang.
4.    Perusahaan Jepang juga cenderung mengikuti pendekatan bottom-up, di mana semua level berpartisipasi dalam perencanaan, lebih dulu berkontribusi secara informal. Pertemuan formal cenderung tidak sering dan ketika harapan manajer dipertimbangkan, hal itu lebih tidak penting dibandingkan kelompok mufakat.
5.    Manajer Jepang lebih cenderung menggunakan penyimpangan anggaran untuk mengenali masalah pada waktu itu dan menggunakan anggaran untuk meningkatkan anggara periode berikutnya.
6.    Manajer Amerika lebih cenderung dievaluasi melalui anggaran.
7.  Bonus dan gaji manajer Amerika lebih cenderung dipengaruhi oleh kinerja anggaran dibandingkan di Jepang.
Perbedaan ini sangat menarik. Manajer Amerika cenderung lebih terlibat dalam proses penganggaran, dievaluasi melalui anggaran, dan dihargai atau dihukum melalui anggaran. Manajer Jepang cenderung melihat penyimpangan anggaran sebagai jalan untuk memperbaiki kinerja. Antara Amerika dan Jepang, hal ini secara jelas merupakan perbedaan nasional dalam penganggaran. Ueno dan Sekaran (1992) juga membandingkan praktik penganggaran Amerika dan Jepang, bahasan mereka dibatasi oleh paradigma budaya Hofstede. Menggunakan contoh pengendali dan manajer senior lainnya di perusahaan manufaktur, mereka menemukan berbagai fenomena yang dapat diprediksi dengan budaya. Seperti yang ditemukan Bailes dan Assada (1991), manajer Amerika Serikat lebih banyak menggunakan pertemuan formal, komunikasi, dan koordinasi dalam perencanaan anggaran.
Beberapa kecenderungan penganggaran lainnya yg ditemukan Ueno dan Sekaran juga muncul untuk mendapatkan akar budaya. Pembuat anggaran Amerika Serikat cenderung untuk membuat lebih banyak “kekenduran”, yang dianggap berasal dari usaha individual untuk meningkatkan kekuatan dasar mereka sendiri dan kepercayaan diri. Hal ini memperhitungkan perilaku menciptakan kekenduran, di mana bertujuan untuk menciptakan kenyamanan sasaran dan target pencapaian yang lebih mudah, yang dikaitkan dengan dimensi individualisme dan struktur penghargaan individual di kebanyakan perusahaan Amerika Serikat.
Manajer Jepang cenderung lebih sedikit peduli tentang mengidentifikasi kemampuan pengendalian item dan cenderung untuk menilai kinerja untuk masa akan datang yang lebih panjang dibandingkan Amerika Serikat. Untuk mendapatkan periode penghargaan yang lebih panjang, manajer Jepang tidak memiliki perencanaan masa akan datang yang cukup panjang dibandingkan manajer AS.

Sistem Penganggaran dan Perencanaan dari Perusahaan Multinasional APEC.
Harrison, Mckinnon, Panchapakesan, dan Leung (1994) meneliti sistem penganggaran dan perencanaan Australia dan AS, dan kemudian Singapura dan Hongkong. Mereka menarik dimensi budaya nasional dari hierarki kekuasaan, individualisme, dan dinamisme Confucian untuk memprediksi dan menjelaskan perbedaan dalam filosofi dan pendekatan desain organisasional, perencanaan manajemen, dan sistem kontrol di Asia dan negara Anglo-American.  Data itu dikumpulkan dengan survei kuesioner yang dikirim ke eksekutif senior akuntansi dan keuangan di 800 organisasi.
Hasil dari Harrison sepeti yang diprediksi dan secara umum menyediakan dukungan untuk kepentingan budaya nasional dalam mempengaruhi desain organisasional, perencanaan manajemen dan sistem kontrol. Khususnya, nilai budaya masyarakat Anglo-American berhubungan dengan  masyarakat Asia Timur lebih menekankan pada desentralisasi, dan pusat pertanggungjawaban dalam desain organisasional dan teknik kuantitatif dan analitis dalam perencanaan dan pengendalian. Sebaliknya, nilai budaya masyarakat Asia Timur lebih menekankan pada perencanaan jangka panjang dan pengambilan keputusan yang berpusat pada kelompok.

Interaksi Budaya dan Jarak Geografis.
Hassel dan Cunningham mempelajari bagaimana kombinasi budaya dan jarak geografis, atau jarak fisik mempengaruhi proses penganggaran. Mereka menemukan bahwa ketika markas besar menggunakan anggaran sebagai mekanisme pengendalian, cabang yang secara budaya mirip dan secara geografis dekat dengan markas besar menunjukkan kinerja keuangan yang lebih kuat dibandingkan cabang yang secara budaya berbeda dan lokasinya jauh dari markas besar. Penemuan ini menyarankan bahwa pengendalian anggaran bekerja lebih efektf untuk cabang yang dekat secara fisik dengan induk. Penemuan ini penting karena mereka menyarankan bahwa perbedaan budaya dan jarak geografis menuntut teknik evaluasi yang lebih rumit.

TANTANGAN DARI PENGENDALIAN PERUSAHAAN GLOBAL
Isu Perencanaan dan Penganggaran
Perusahaan multinasional menghadapi serangkaian faktor eksternal, pertimbangan internal, dan kekuatan lainnya yang mempengaruhi kebijakan anggaran, komposisi, dan pengendalian. Penganggaran di lingkungan bisnis global menghendaki peningkatan level koordinasi dan komunikasi dalam perusahaan karena berbagai komponen kekuatan yang mempengaruhi kinerja organisasional. Namun multinasional perlu untuk memperhatikan perbedaan budaya dan akibatnya terhadap praktik penganggaran nasional, terdapat pertimbangan tambahan dalam proses penganggaran perusahaan multinasional. Terutama perbedaan nilai tukar uang asing dalam operasi lintas-batas.
Isu utama internasional seputar perkembangan anggaran perusahan multinasional adalah menetapkan mata uang yang harus disiapkan anggaran: mata uang lokal atau mata uang induk. Sebagai contoh, perusahaan multinasional Swiss lebih baik mengevaluasi semua operasi asingnya  dengan mata uang lokal atau hasilnya diganti ke mata uang prancis. Pilihan ini sangat berpengaruh jika terjadi perubahan besar dalam tingkat nilai tukar. Hal ini memungkinkan laba dalam mata uang lokal menjadi rugi dalam mata uang induk, dan sebaliknya. Kebanyakan perusahaan menyelesaikan dilema ini dengan mempertimbangkan tujuan utama operasi asing.
Isu mata uang asing juga meningkatkan isu kemampuan pengendalian. Apakah nilai mata uang naik atau turun dan berapa yang secara nyata berada di luar kendali perusahaan multinasional tunggal dan bagiannya. Oleh karena itu, karena evaluasi kinerja yang tepat harus mengeluarkan akibat dari kejadian yang tidak dapat dikendalikan, seorang berpendapat bahwa basis sebelum-translasi lebih baik daripada basis setelah-translasi.
Nilai dari penyusunan anggaran dalam mata uang lokal adalah  bahwa manajemen beroperasi dalam mata uang tersebut, dan mata uang lokal lebih menunjukkan lingkungan operasi secara keseluruhan dibandingkan mata uang sekarang. Sebagai tambahan, tingkat nilai tukar merupakan hal yang tidak dapat dikendalikan oleh manajemen lokal, jadi tidak bijaksana untuk menggunakan hal yang tidak dapat dikendalikan sebagai bagian dari proses penganggaran dan evaluasi. Sebaliknya, seringkali hal itu sulit bagi manajemen tingkat atas di negara induk untuk mengerti anggaran dengan mata uang yang berbeda. Hal ini khususnya nyata bagi perusahaan yang tersebar secara geografis seperti Coca-cola, yang mungkin memiliki anggaran dengan 100 atau lebih mata uang yang berbeda. Mengubah anggaran menjadi mata uang perusahaan induk memungkinkan manajemen tingkat atas untuk menkonsolidasi anggaran untuk tahun akan datang. Karena manajemen tingkat atas harus melaporkan ke pemegang saham di perusahaan induk, mereka mungkin menginginkan strategic business unit (SBU) atau manajemen anak perusahaan untuk memikirkan laba induk perusahaan.
Tiga pendekatan yang memungkinkan untuk menghadapi nilai tukar asing dalam proses penganggaran yang dikaitkan dengan evaluasi kinerja manajemen:
1.  Memungkinkan manajemen operasi untuk terlibat dalam perjanjian perlindungan dengan bendahara perusahaan.
2.      Menyesuaikan kinerja aktual unit untuk perbedaan dalam tingkat nilai tukar setelah akhir periode.
3.      Menyesuaikan rencana kinerja sejalan dengan  perbedaan tingkat nilai tukar riil.

Cara untuk Membawa Nilai Tukar Asing ke Dalam Proses Penganggaran
Lessard dan Lorange (1977) mengidentifikasikan cara yang berbeda mengenai bagaimana perusahaan dapat mengubah anggaran dari mata uang lokal ke mata uang perusahaan induk dan kemudian memonitor kinerja aktual. Tiga tingat nilai tukar yang berbeda digunakan dalam Exhibit 14.4. yang pertama adalah tingkat nilai tukar aktual yang berpengaruh ketika anggaran dibuat, yang kedua adalah tingkat yang diproyeksikan pada waktu anggaran dibuat dalam mata uang lokal, dan yang ketiga adalah tingkat nilai tukar yang berpengaruh ketika periode yang dianggarkan direalisasikan.
Ketertarikan dari tingkat nilai tukar yang pertama adalah tingkat itu merupakan tingkat tujuan utama yang terjadi secara aktual pada waktu yang telah ditentukan. Hal itu merupakan tingkat yang layak digunakan pada lingkungan stabil, tetapi hal itu menjadi tidak berarti dalam lingkungan nilai tukar asing yang tidak stabil. Tingkat yang diproyeksikan merupakan upaya manajemen  untuk meramalkan tingkat nilai tukar pada waktu periode anggaran. Sebagai contoh, manajemen mungkin memproyeksikan di bulan Juni 2005 bahwa tingkat nilai tukar antara U.S. dollar dan British pound akan sebesar $1.8600 selama bulan Desember 2005, jadi tingkat itu akan menjadi tingkat nilai tukar yang diproyeksikan untuk digunakan dalam proses penganggaran. Tingkat nilai tukar aktual yang terdapat pada sel E-3 merupakan tingkat nilai tukar yang baru yang berpengaruh ketika anggaran dibuat. Hal itu menyediakan tingkat nilai tukar aktual yang berpengaruh pada saat periode terjadinya.
Tiga tingkat nilai tukar ini perlu dipertimbangkan untuk penyusunan anggaran dan memonitor kinerja. Dalam sel A-1, P-2, dan E-3, tingkat nilai tukar yang digunakan untuk menyusun anggaran dan memonitor kinerja adalah sama, banyak perbedaan untuk harga dan volume, tetapi tidak tingkat nilai tukar. Nilai dari P-2 di samping A-1 dan E-3 mendorong manajemen  untuk berpikir pada awalnya mengenai kinerja mereka jika ramalan akurat secara wajar. A-1 tidak pernah dimasukkan ke dalam laporan yang mencantumkan tingkat nilai tukar, dan tidak berusaha untuk merekonsiliasi anggaran antara tingkat original dengan tingkat aktual. Dengan adanya ketidakstabilan tingkat nilai tukar, bagaimanapun, beberapa berpendapat bahwa ramalan tingkat nilai tukar tidak lebih akurat dibanding tingkat nilai tukar lainnya. E-3 mempertimbangkan bagaimana kinerja pada tingkat nilai tukar aktual, tetapi tidak mendorong manajemen berpikir ke depan selama proses anggaran.
A-3 dan P-3 menghasilkan varians dari hasil fungsi operasi dan perubahan tingkat nilai tukar. Pada A-3, anggaran disusun pada tingkat nilai tukar awal, tetapi kinerja aktual diubah pada tingkat nilai tukar aktual. Jadi, terdapat varians di mana tingkat nilai tukar berbeda antara yang original dan aktual. P-3 menghasilkan varians di mana tingkat nilai tukar yang dipikirkan manajemen akan terjadi berbeda dengan yang terjadi secara aktual pada akhir periode operasi. Jika ramalan manajemen akurat secara wajar, P-3 akan menghasilkan varians nilai tukar asing yang sangat kecil. Jika tingkat nilai tukar antara mata uang perusahaan induk dan mata uang lokal relatif stabil, A-3 juga akan menghasilkan varians nilai tukar asing yang relatif kecil. Bagaimanapun, hal ini penting untuk menyadari bahwa penggunaan A-3 dan P-3 berarti seseorang (biasanya manajemen lokal) akan memegang pertanggungjawaban untuk varians tingkat nilai tukar.
Demirag dan De Fuentes (1999) mensurvei perusahaan multinasional Inggris untuk mempelajari kombinasi tingkat nilai tukar yang mereka gunakan untuk mempersiapkan anggaran dan mengevaluasi kinerja anak perusahaan. Penemuan mereka terangkum dalam Exhibit 14.5. Dari 51 perusahaan multinasional, 10 perusahaan menggunakan A-1, 19 menggunakan P-2, dan tidak ada yang menggunakan E-3. Tiga puluh enam perusahaan menggunakan tingkat yang diramalkan untuk menyusun anggaran dan/atau memonitor hasil aktual. Exhibit 14.5 menunjukkan bahwa kebanyakan perusahaan multinasional lebih menyukai tingkat yang diramalkan untuk mempersiapkan anggaran dan mengevaluasi anak perusahaan, yang menyarankan agar manajer berusaha untuk berpikir mengenai tingkat nilai tukar selama proses penganggaran. Tidak ada perusahaan menggunakan tingkat aktual pada akhir periode anggaran untuk mempersiapkan anggaran, meskipun tingkat ini merupakan salah satu tingkat yang paling umum digunakan dalam evaluasi kinerja. Lima perusahaan menggunakan A-3 dan 17 menggunakan P-3, yang menghasilkan varians tingkat nilai tukar. Demirag dan De Fuentes (1999) melaporkan bahwa mayoritas manajemen markas besar memegang tanggung jawab atas varians tingkat nilai tukar. Hal yang menarik, Demirag dan De Fuentes (1999) memperoleh hasil yang sama penelitian yang identik yang dilakukan sekitar 10 tahun sebelumnya (Demirag, 1986). Penemuan ini menyatakan bahwa dalam dekade terakhir perusahaan multinasional tidak mengalami perubahan dalam menggunakan tingkat nilai tukar untuk mengevaluasi anak perusahaan asing dan manajernya.
Contoh yang lebih kompleks dari anggaran fleksibel yang melibatkan nilai tukar asing ditunjukkan pada Exhibit 14.6. Asumsikan bahwa anggaran ini dibuat dalam British pounds untuk anak perusahaan di Inggris dari perusahaan Amerika Serikat. Anggaran ini dibuat dalam pounds, tetapi manajer Amerika Serikat menginginkan anggaran dan kinerja aktual diganti ke dolar untuk mengevaluasi tujuan. Anggaran dengan mata uang lokal pada bulan Maret 2005 dibuat dengan harga jual £155 per unit dan biaya variabel £100 per unit. Harga jual aktual £155 per unit dan biaya variabel aktual £110 per unit. Volume yang dianggarkan 6000 unit dan jumlah unit aktual yang terjual 5.500.
Hasil aktual dalam mata uang lokal dihitung menggunakan volume penjualan aktual, harga jual aktual per unit dan biaya variabel aktual per unit, dan biaya tetap aktual. Anggaran fleksibel dihitung menggunakan unit terjual aktual, harga jual per unit dan biaya variabel per unit yang dianggarkan, dan biaya tetap yang dianggarkan. Anggaran statis dihitung dengan menggunakan volume penjualan yang dianggarkan, harga jual per unit dan biaya variabel per unit yang dianggarkan, dan biaya tetap yang dianggarkan.
Terdapat tiga (hipotesis) tingkat nilai tukar yang penting untuk contoh ini:
$1.8123           Tingkat nilai tukar aktual pada 1 Oktober 2003, ketika anggaran dibuat
$1.8604           Tingkat nilai tukar yang diproyeksikan pada Maret 2005
$1.8590           Tingkat nilai tukar aktual pada Maret 2005
Berikutnya anggaran dan hasil aktual dalam British pounds merupakan versi yang diganti dari laporan keuangan dan analisis varians berdasarkan pendekatan pada Exhibit 14.6: A-1, P-2, E-3, A-3, P-3.
Untuk pendekatan A-1, P-2, dan E-3, tidak ada varians tingkat nilai tukar (kolom 7) karena tingkat nilai tukar yang sama digunakan untuk mengubah anggaran dan hasil aktual. Untuk A-1, tingkat nilai tukar adalah tingkat aktual pada waktu anggaran dibuat ($1.8123). untuk P-2, tingkat nilai tukar adalah tingkat yang diproyeksikan pada waktu anggaran dibuat ($ 1.8604). Untuk E-3, tingkat nilai tukar adalah tingkat aktual pada akhir periode ($ 1.8590). Varians yang ada hanyalah ekuivalen dolar dari varians harga dan volume yang terjadi dalam mata uang lokal. Tidak ada hasil pada kolom 6 sejak tingkat nilai tukar yang digunakan untuk menyusun anggaran dan memonitor hasil adalah sama. Jadi tidak ada varians tingkat nilai tukar pada kolom 7.
Dari pendekatan A-3, kolom 2-6 diubah dalam tingkat nilai tukar aktual yang berpengaruh pada 1 Oktober 2004, ketika anggaran dibuat. Kolom 1 diubah dalam tingkat nilai tukar aktual untuk Maret 2005, jadi varians tingkat nilai tukar berbeda antara tingkat nilai tukar aktual pada 1 Oktober 2004, dan tingkat nilai tukar aktual untuk Maret 2005. Ingat bahwa kolom 6 dari A-3 sama seperti kolom 1 dari A-1.
Dari pendekatan P-3, kolom 2 hingga 6 diubah dalam tingkat nilai tukar yang diproyeksikan, dan kolom 1 diubah dalam tingkat rata-rata nilai tukar aktual untuk Maret 2005. Varians tingkat nilai tukar adalah perbedaan antara tingkat yang diproyeksikan pada waktu anggaran dibuat dengan tingkat nilai tukar aktual. Ingat bahwa kolom 6 (P-3) sama seperti kolom 1 (P-2). Varians tingkat nilai tukar untuk P-3 lebih kecil daripada A-3, karena tingkat yang diproyeksikan  digunakan untuk mengubah anggaran harus lebih dekat dengan tingkat nilai tukar akan datang. Bagaimanapun, hal itu bergantung pada seberapa mudah meramalkan tingkat masa akan datang dan seberapa stabil/tidak stabil mata uang tersebut.

Praktik-Praktik Penganggaran dan Mata Uang
Apa yang dilakukan perusahaan multinasional secara aktual? Dalam penelitian Robbins dan Stobaugh (1973), kurang dari setengah perusahaan yang disurvei menilai kinerja anak perusahaan dalam jumlah dolar, dan hanya 12 persen menggunakan kedua standar. Morsicato (1980) menemukan sejumlah perusahaan yang signifikan dalam sampelnya menggunakan anggaran dalam mata uang dolar dan lokal untuk perbandingan laba aktual dan penjualan aktual.
Dalam penelitiannya pada anak perusahaan di Inggris dari perusahaan Jepang, Demirag (1994) mencatat bahwa “perusahaan mengindikasikan bahwa laporan keuangan dipresentasikan dalam sterling (mata uang lokal) menyediakan pemahaman yang lebih baik mengenai kinerja mengenai operasi perusahaan dan manajemennya. ... Tidak ada perusahaan mengubah anggaran laba mereka  ke dalam yen untuk tujuan evaluasi kinerja ... [dan] tidak ada perusahaan induk mengirim salinan laporan yang diubah ke yen.” Laporan keuangan dengan mata uang induk perusahaan dikirim ke Jepang untuk translasi dalam yen pada tingkat nilai tukar standar yang ditetapkan perusahaan. Pada intinya, manajer anak perusahaan yang tidak sadar akan kinerja mereka dalam mata uang perusahaan induk, hal ini berbeda dengan survei Demirag di Inggris dengan perusahaan multinasional yang disebutkan di atas.

Penganggaran Modal
Penganggaran modal merupakan penganggaran operasional jangka panjang yang didiskusikan sebelumnya. Bagaimanapun, dari pertimbangan yang didiskusikan, terutama yang berkaitan dengan eksposur ekonomi, selanjutnya diaplikasikan. Seperti dalam perencanaan jangka pendek atau penganggaran, perencanaan jangka panjang atau penganggaran modal perlu mempertimbangkan antisipasi pergerakan tingkat nilai tukar untuk pengurangan arus kas. Hal ini merupakan bagian dari risiko yang termasuk dalam pengurangan arus kas masa depan, sepanjang ketidakpastian lingkungan. Ketidakpastian lingkungan dapat diperhalus, seperti risiko pajak yang lebih berat yang tidak diharapkan, atau yang berat, seperti risiko pengambilalihan. Pada umumnya, efek dari risiko lebih besar dalam negara berkembang daripada negara yang lebih kaya, tetapi belakangan, terdapat kejadian merugikan yang tidak dapat diprediksi.
Karena risiko inheren dalam penganggaran modal internasional, perusahaan multinasional harus menggunakan teknik yang berpengalaman untuk meramalkan arus kas, risiko taksiran, dan menentukan tingkat diskonto yang tepat untuk memperoleh net present value (NPV) dari pilihan investasi. Hasan, dkk (1997) menganalisis faktor yang mengarahkan anak perusahaan asing dari perusahaan multinasional Amerika Serikat untuk menggunakan teknik penganggaran modal yang berpengalaman. Mereka menemukan bahwa anak perusahaan dengan kepemilikan mayoritas oleh perusahaan induk lebih suka menggunakan NPV, APV, atau IRR untuk membuat keputusan investasi. Anak perusahaan yang besar, diperdagangkan secara publik, dan telah berbisnis dalam beberapa tahun cenderung menggunakan metode yang kompleks seperti weighted average cost of capital(WACC) untuk menentukan tingkat diskonto.
Penemuan ini menyarankan agar perusahaan multinasional mengetahui kompleksitas dan risiko berinvestasi dalam pasar asing dan meminta anak perusahaannya untuk menyesuaikan faktor dan risiko khusus negara dan menggunakan alat terbaik yang tersedia untuk membuat keputusan penganggaran modal. Pada waktu yang sama, penggunaan teknik ini menghadirkan beberapa isu dalam pengevaluasian kinerja investasi jangka panjang dari anak perusahaan. Sebagai contoh, haruskah manajer dalam lingkungan yang lebih mudah berubah dievaluasi dengan cara yang sama dalam lingkungan yang lebih stabil untuk kinerja penganggaran modal? Apa basis kinerja terbaik dalam setiap situasi.
Praktik pelaporan yang dibakukan atau tidak digunakan dalam perusahaan multinasional, terdapat isu nyata untuk mengetahui operasi asing dan manajer mereka dapat dievaluasi dalam basis global atau hanya dalam basis nasional. Hal itu telah dikatakan sebelumnya bahwa membandingkan ROI merupakan metode utama yang digunakan untuk mengevaluasi operasi individual dan manajer individual dalam basis yang dibakukan atau basis global. Tetapi dapatkah keputusan efektif diperoleh dengan cara ini? Kadang-kadang, ketika faktor lingkungan digunakan dalam keputusan strategis jangka panjang, hasilnya mungkin tampak ganjil/tidak menentu dengan pencarian ROI yang kuat dengan basis tahun ke tahun. Oleh karena itu, penganggaran modal mungkin lebih membutuhkan pertimbangan dibandingkan penganggaran operasional.

HARGA TRANSFER INTRAKORPORASI
Salah satu elemen tambahan dari manajemen multinasional adalah harga transfer intrakorporasi. Hal ini merujuk pada penentuan harga atas barang dan jasa yang ditransfer (dijual dan dibeli) di antara anggota satu grup perusahaan – contohnya dari perusahaan induk ke perusahaan anak, antarperusahaan anak, dari perusahaan anak ke perusahaan induk, dan masih banyak lagi. Transfer internal meliputi bahan  mentah, barang setengah jadi dan barang jadi, alokasi biaya tetap, pinjaman, ongkos, royalti atas penggunaan merek dagang, hak cipta, dan faktor-faktor lain. Dalam teori, penentuan harga atas hal-hal tersebut seharusnya didasarkan pada biaya produksi, tapi dalam kenyataannya sering tidak demikian.
Perusahaan-perusahaan multinasional memiliki motivasi internal dan eksternal untuk menggunakan harga transfer (Eden, 2001). Motivasi internal meliputi memaksimalkan kinerja, efisiensi keuangan, dan pendorong kinerja bagi manajer dari anak-anak perusahaan yang berbeda. Motivasi eksternal berasal dari peraturan perpajakan di berbagai negara di mana perusahaan-perusahaan multinasional tersebut beroperasi.
Memaksimalkan kinerja operasi merupakan alasan internal utama untuk menggunakan harga transfer, dan berikutnya adalah untuk memperoleh efisiensi keuangan. Alasan internal yang terakhir adalah sebagai pendorong kinerja. Motivasi eksternal utama adalah menyiapkan dokumentasi untuk audit harga transfer, diikuti dengan motivasi untuk mengoptimalkan perencanaan pajak.
Dalam praktik, transfer internal sering diberi harga yang lebih tinggi dibanding harga pasar untuk menurunkan pendapatan perusahaan anak, yang akan mengurangi beban pajak lokal. Sebaliknya, perusahaan mungkin menetapkan harga yang lebih rendah atas barang yang dijual ke afiliasi asing, dan perusahaan afiliasi tersebut dapat menjualnya pada harga yang tidak dapat ditandingi oleh kompetitor lokalnya. Jika Undang-Undang antidumping yang kuat berlaku bagi produk akhir, suatu perusahaan dapat menetapkan harga yang lebih rendah atas komponen-komponen dan produk setengah jadi kepada afiliasinya. Perusahaan-perusahaan afiliasi tersebut kemudian dapat merakit atau menyelesaikan produk akhir pada harga yang diklasifikasikan sebagai harga dumping, yang diimpor langsung ke suatu negara dibandingkan yang diproduksi secara domestik.
Harga transfer yang tinggi mungkin digunakan untuk mengelak atau mengurangi secara signifikan dampak dari pengendalian nasional. Larangan pemerintah mengenai pembayaran dividen dapat membatasi kemampuan perusahaan untuk menyiasati pendapatan keluar dari suatu negara. Walaupun demikian, penetapan harga transfer yang lebih tinggi terhadap barang yang dikirimkan ke perusahaan anak akan memungkinkan dana keluar. Harga transfer yang tinggi juga sangat penting nilainya bagi perusahaan ketika ia memberikan subsidi atau memperoleh kredit pajak dari nilai barang yang diekspornya. Semakin tinggi harga transfer barang yang diekspor, semakin besar subsidi yang diperoleh atau kredit pajak yang diterima.
Harga transfer yang tinggi atas barang yang dikirimkan ke perusahaan anak mungkin saja penting bila perusahaan induk berharap untuk menurunkan profitabilitas yang nyata dari anak-anak perusahaannya. Ini mungkin penting karena permintaan para pekerja dari perusahaan-perusahaan anak akan upah yang lebih tinggi atau partisipasi yang lebih besar dalam laba perusahaan; karena tekanan-tekanan politik untuk mengambil alih operasi-operasi yang berlaba tinggi dan dimiliki asing; atau karena adanya kemungkinan bahwa kompetitor baru tertarik masuk ke dalam industri karena laba yang tinggi. Mungkin juga ada dorongan untuk menerapkan harga transfer terhadap perusahaan anak ketika partner lokal terlibat, di mana kenaikan dalam laba perusahaan induk tidak harus dibagi dengan partner lokal. Harga transfer yang tinggi juga mungkin diinginkan ketika kenaikan dari pengendalian harga yang ada di negara perusahaan anak didasarkan pada biaya produk (mencakup harga transfer yang tinggi untuk pembelian).
Keputusan penentuan harga menggambarkan dilema yang dihadapi perusahaan multinasional, antara tunduk pada peraturan perpajakan, yang berusaha memaksimalkan pungutan pendapatan di setiap negara, dan berusaha untuk memaksimalkan labanya sendiri. Dilema ini menuntun pada kemungkinan akan manipulasi harga transfer, “over/under-invoicing dari transaksi pihak terkait yang bertujuan untuk menghindari peraturan pemerintah” (Eden, 2001).
Sebagai respon terhadap manipulasi harga transfer, otoritas pajak negara telah mengadopsi arm’s length standard (ALS), yang mewajibkan harga transfer ditetapkan “seolah-olah transaksi terjadi di antara pihak-pihak yang tidak berkaitan di pasar kompetitif” (Eden, Dacin, dan Wan, 2001). Walaupun kelihatannya sederhana, terkadang tidak ada pasar kompetitif bagi produk yang ditransfer dalam perusahaan-perusahaan multinasional. Contohnya, beberapa bahan mentah tertentu yang diolah oleh satu divisi lalu kemudian dijual ke divisi lainnya mungkin tidak dijual di pasar terbuka. Dalam kasus ini, menetapkan hargaarm’s length untuk bahan baku adalah hal yang rumit. Untuk alasan ini dan alasan lainnya, perusahaan-perusahaan multinasional semakin diaudit oleh pemerintah lokal.
Jelas bahwa motivasi internal untuk penetapan harga transfer sangat berbeda dari motivasi eksternal. Satu solusi yang mungkin untuk ketidaksesuaian ini adalah dengan menggunakan dua macam harga: satu untuk tujuan evaluasi kinerja dan motivasi (internal), dan satu untuk memenuhi persyaratan ALS. Baldenius, Melumad, dan Reichelstein (2004) melaporkan bahwa praktik ini menjadi semakin umum di antara perusahaan-perusahaan multinasional.
Isu-isu manipulasi harga transfer mengemukakan suatu dilema etika bagi manajer-manajer perusahaan multinasional, yang harus menyeimbangkan tujuannya untuk memaksimalkan laba dengan peraturan dan hukum. Harga transfer bisa digunakan dalam cara yang legal untuk meningkatkan kinerja dan memotivasi manajer anak-anak perusahaan. Pada waktu yang sama, juga dapat digunakan secara ilegal. Walaupun beberapa praktik harga transfer diatur dengan jelas oleh hukum lokal, namun ada juga yang tidak didefinisikan dengan jelas. Manajer harus berhati-hati ketika berurusan dengan wilayah abu-abu dalam penetapan harga transfer.
Penetapan harga transfer akan terus menjadi sebuah isu kompleks karena dilema yang dijelaskan di atas. Eden (2001) menjelaskan tren yang memainkan peran utama dalam penetapan harga transfer beberapa tahun ke depan:
1. Globalisasi: sebagaimana perusahaan-perusahaan multinasional semakin meningkat dalam hal perkembangan dan mobilitas, harga transfer menjadi semakin mudah ditembus dan sulit untuk diatur.
2.        Regionalisasi: Sebagaimana perjanjian perdagangan seperti NAFTA, Mercasur, dan Uni Eropa menjadi semakin umum, otoritas yang berwenang harus tiba pada perjanjian mengenai isu-isu pajak untuk meminimalkan konflik-konflik antarnegara.
3.        Internet: Internet memungkinkan perdagangan antara pembeli dan penjual yang tersebar secara geografi dalam suatu konteks elektronik di mana tidak ada otoritas pajak. Pemerintah harus memecahkan isu-isu baru yang ditimbulkan oleh transfer internet.

Menyesuaikan Harga dengan Kondisi Pasar
Kondisi-kondisi yang digunakan perusahaan untuk menetapkan strategi penentuan harga transfer khusus terangkum dalam Exhibit 14.8. Keuntungan maksimal akan diperoleh ketika semua kondisi tersebut didasarkan pada kondisi di suatu negara. Contohnya, perusahaan induk yang beroperasi di negara yang karakteristiknya menginginkan harga yang tinggi untuk barang yang ditransfer masuk dan harga yang rendah untuk barang yang ditransfer keluar, sementara kondisi di negara perusahaan-perusahaan anak menginginkan sebaliknya.
Jika perusahaan induk menjual pada harga yang rendah kepada perusahaan anak dan membeli dari perusahaan anak dengan harga tinggi, pendapatan akan berpindah ke perusahaan anak, mengurangi beban pajak secara keseluruhan. Selain itu, dampak penentuan kurs mata uang asing atas impor dari perusahaan induk dan pembayaran dividen kepada perusahaan induk juga berkurang, kemampuan perusahaan anak untuk melakukan penetrasi di pasar lokal meningkat, perusahaan induk kurang dipengaruhi oleh larangan pemerintah atas pengaliran keluar modal, dan masih banyak lagi.
Di bawah serangkaian kondisi tersebut, perusahaan anak memperoleh lebih dari perusahaan induk: lebih banyak dana, lebih banyak pendapatan kena pajak, pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, dan lebih banyak pendapatan ekspor. Sementara kompetitor lokal mungkin mengalami hal yang berlawanan, laba yang lebih rendah, membayar lebih sedikit pajak, dan memberhentikan karyawan jika anak perusahaan asing menerapkan strategi penetrasi pasar secara aktif. Pemerintah membayarkan subsidi yang lebih besar atau memberi lebih banyak kredit pajak karena nilai ekspor perusahaan anak yang “dibuat” tinggi dan pengendalian nasionalnya juga berkurang seperti di negara lain. Namun sulit untuk menentukan apakah perusahaan akan menerima manfaat bersih dari harga transfer yang tinggi atau rendah.

Alokasi Overhead
Sebagaimana penentuan harga transfer atas barang, alokasi overhead memiliki implikasi nasional dan internasional. Pada sisi internasional, perusahaan harus memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap overhead perusahaan. Contohnya, markas besar IBM di dunia berada di New York, tapi operasinya ada di seluruh dunia. Bagaimana IBM mengalokasikan biaya tersebut kepada operasi-operasinya di berbagai negara, dan apa implikasi pajak dari isu ini? Ini menjadi isu nyata untuk evaluasi kinerja karena alokasi overhead perusahaan secara langsung mengurangi laba operasi, yang mengurangi pengembalian atas modal yang diinvestasikan, kemungkinan besar menekan pengembalian tersebut di bawah biaya modalnya. Dari sisi nasional murni, perusahaan harus berhati-hati dengan konsep umum alokasi overhead dan hal-hal yang mempengaruhi biaya produk.

Alokasi Lintas Batas atas Pengeluaran / Beban
Jika bukan perbedaan tarif pajak di seluruh dunia, perusahaan dapat mengalokasikan overhead perusahaan berdasarkan pendapatan penjualan di setiap anak perusahaan atau berdasarkan beberapa dasar lainnya. Namun tarif pajak yang berbeda membuat situasi menjadi rumit. Bagi perusahaan yang bermarkas di negara dengan tarif pajak yang tinggi, ada dorongan untuk membayarkan sebanyak mungkin pengeluaran / beban dari pendapatan perusahaan induk. Praktik ini cenderung mengakibatkan lebih saji pengeluaran, kurang saji pendapatan, dan kurang saji pajak di negara perusahaan induk.
Masalah yang timbul dari penggunaan peraturan perpajakan untuk mengalokasikan overhead adalah bahwa hal itu mengeliminasi kemungkinan-kemingkinan bagi perusahaan untuk memilih suatu dasar alokasi yang konsisten dengan strategi manufakturnya. Ketika implikasi pajak diabaikan, overhead dialokasikan secara berbeda. Contohnya, Jepang menemukan kaitan langsung antara pengalokasian overhead dengan tujuan perusahaan.
Sebagaimana yang ditunjukkan Hiromoto (1988), manajer-manajer Jepang kurang peduli tentang bagaimana teknik-teknik alokasi mengukur biaya, tapi lebih pada bagaimana teknik-teknik alokasi memotivasi karyawan untuk mengurangi biaya. Sebuah contoh mengenai Hitachi, perusahaan elektronik Jepang. Di satu pabrik yang sangat terotomatisasi, sistem akuntansi biaya Hitachi mengalokasikan overhead berdasarkan jam tenaga kerja langsung, yang rasanya kurang masuk akal di sebuah lingkungan yang sangat terotomatisasi. Namun, manajemen Hitachi berusaha untuk mengurangi tenaga kerja langsung sebagai suatu cara untuk mengurangi biaya, sehingga mengalokasikan overhead berdasarkan tenaga kerja langsung mendorong manajemen untuk melakukan otomatisasi dengan lebih cepat.
Aspek penting lain mengenai overhead yang telah kita pelajari dari Jepang adalah bahwa overhead tidak dapat berkurang untuk jangka waktu yang panjang dengan memotong biaya secara sederhana; seluruh proses manufaktur perlu dirancang kembali. Blaxill dan Hout (1991) menjelaskan bahwa sebagaimana otomatisasi dan kompleksitas organisasi meningkat – suatu masalah nyata bagi perusahaan-perusahaan multinasional – maka demikian juga dengan overhead. Bagaimanapun, perusahaan-perusahaan multinasional menemukan bahwa mereka harus berjuang untuk menambah atau mempertahankan pangsa pasar melawan kompetitor global. Selain itu, perusahaan berteknologi tinggi harus mencurahkan semakin banyak sumber dayanya yang langka untuk penelitian dan pengembangan, sehingga ada tekanan bagi manajemen untuk bereaksi. Reaksi tersebut biasanya muncul dalam salah satu dari dua cara: harga jatuh dan biaya terpangkas, atau perusahaan keluar dari lini produk tertentu dan mengembangkan suatu relung. Apa yang telah kita pelajari dari Jepang adalah bahwa perusahaan dapat menurunkan overhead secara permanen dan tetap kompetitif hanya jika ia merancang proses manufaktur yang terintegrasi dan dapat dikendalikan.

ISU-ISU EVALUASI KINERJA
Anggaran, baik jangka panjang maupun jangka pendek, merupakan rencana pokok. Harga transfer dan perhitungan biaya berdasarkan target dapat mempengaruhi harga. Pada akhirnya rencana ini harus diimplementasikan. Dengan bantuan dari teknik ini, baik sendirian maupun sebagai rencana yang dikombinasikan, manajer harus melakukannya jika perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dengan demikian kinerja dari mereka yang melaksanakan rencana perlu diukur dan diberi penghargaan. Mengukur kinerja individu, divisi, atau bahkan perusahaan secara tepat tidak sederhana ataupun mudah. Salah satu alasannya adalah dasar-dasar hasil pengukuran yang berbeda dalam ukuran-ukuran kinerja yang berbeda. Selain itu, individu atau unit yang dievaluasi tidak mengendalikan banyak kejadian yang mempengaruhi kinerja. Perbedaan strategis di anak-anak perusahaan mungkin juga berakibat pada ukuran evaluasi kinerja yang berbeda-beda.
Berbagai kejadian yang mempengaruhi evaluasi kinerja di luar kendali manajer atau anak perusahaan. Pertama-tama, mari kita membahas tentang dasar dari pengukuran. Ada banyak kriteria yang mungkin untuk menilai kinerja. Lebih jauh lagi, tidak ada dasar tunggal yang sama-sama tepat untuk semua unit dalam perusahaan multinasional. Contohnya, unit produksi lebih cocok dievaluasi berdasarkan pengurangan biaya, pengendalian kualitas, pemenuhan target pengiriman (tanggal dan kuantitas), dan ukuran efisiensi lainnya. Sedangkan untuk anak perusahaan penjual, ukuran-ukuran tersebut kurang tepat dibandingkan ukuran seperti pangsa pasar, jumlah pelanggan baru, atau ukuran efektivitas lainnya. Demikian juga profitabilitas mungkin cocok untuk anak perusahaan yang benar-benar merupakan pusat laba, tapi tidak cocok bagi anak perusahaan yang bertempat di negara dengan tarif pajak tinggi, yang demi minimalisasi pajak global diinstruksikan untuk meminimalkan laba atau bahkan memaksimalkan kerugian. Situasi ini mendorong pada keinginan dan kelayakan akan penggunaan banyak dasar untuk pengukuran kinerja – yaitu dasar pengukuran yang berbeda untuk jenis operasi yang berbeda di negara yang berbeda. Bagaimanapun, bahkan penggunaan banyak ukuran juga memiliki masalah. Pertama, lebih sulit untuk membandingkan kinerja unit berbeda yang diukur dengan kriteria berbeda. Kedua, lebih mahal untuk menetapkan dan melaksanakan sistem yang menggunakan banyak kriteria. Oleh karena itu, keputusan harus didasarkan pada analisis kerugian-manfaat. Borkowski (1999) menjelaskan bahwa jika tujuan utama dari perusahaan adalah untuk memaksimalkan kekayaan pemegang saham, menggunakan kriteria kinerja yang sama memungkinkan perusahaan untuk tetap mengingat tujuannya dan bertindak secara konsisten untuk mencapainya.
Saling ketergantungan di antara operasi-operasi dari sebuah perusahaan multinasional dapat mempersulit masalah. Contohnya, sebuah perusahaan mobil multinasional mungkin memproduksi bajanya di Jepang, dicap di Amerika Serikat, bannya dari Kanada, gandarnya buatan Meksiko, mesinnya buatan Jerman, dan radionya dari Taiwan, semuanya terakhir dirakit di Amerika Serikat. Jika salah satu bagian dari operasinya yang berjauhan mengalami masalah kinerja, masalah operasi tersebut akan menyebar ke operasi lainnya. Dengan demikian pemogokan di Jerman dapat mempengaruhi kinerja anak perusahaan Jerman, pabrik perakitan di Amerika Serikat, dan semua anak perusahaan penjual di seluruh dunia. Evaluasi kinerja yang tepat harus mengeliminasi dampak yang tidak dapat dikendalikan ini terhadap anak-anak perusahaan yang independen sebagaimana anak perusahaan di Jerman. Lebih jauh lagi, jika selain dari harga transfer arm’s length yang digunakan untuk penjualan intrakorporasi, hasil yang dilaporkan tidak akan mencakup pengendalian dari anak perusahaan yang membeli dan menjual (kecuali mereka setuju dengan harga transfer tersebut), dan dalam beberapa kasus tidak akan mencerminkan kinerja sebenarnya.
Menghubungkan Evaluasi dengan Kinerja Secara Tepat
Salah satu aspek yang lebih aneh dari studi empiris yang didiskusikan sebelumnya dalam chapter ini adalah penemuan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional terutama dari negara Barat mengandalkan ROI sebagai salah satu ukuran kinerja yang paling penting atau utama. Ketika transfer intrakorporasi signifikan dan bukan pada harga arm’s length, pembilang pendapatan untuk ROI sangat berubah-ubah dan samar-samar. Selain itu, manajer anak perusahaan yang evaluasinya didasarkan pada ROI mungkin memilih untuk meminjam dengan jumlah besar dalam mata uang lokal. Hal ini mempengaruhi kapasitas peminjaman di seluruh perusahaan dan kemungkinan besar harga sahamnya, dan mungkin membawa laporan keuangan konsolidasi perusahaan induk pada kerugian mata uang asing yang signifikan jika pinjaman dalam mata uang yang harganya tetap. Mungkin yang paling penting, ROI tidak tepat untuk beberapa operasi asing, seperti anak perusahaan yang hanya memproduksi untuk anak perusahaan lainnya, anak perusahaan penjual membeli semua produknya dari anak perusahaan lainnya, atau anak perusahaan yang berusaha masuk ke pasar yang sangat kompetitif dan bermarjin rendah. Masalah yang berkaitan dengan penggunaan ROI sebagai ukuran standar atas kinerja juga berlaku bagi ukuran lainnya.
Kebutuhan akan standarisasi membawa kita kembali ke satu metode evaluasi kinerja yang dapat memenuhi sebagian besar kriteria tanpa pembatasan yang tidak semestinya: perbandingan kinerja dengan neraca. Metode ini memungkinkan setiap afiliasi untuk menilai dirinya sendiri, menurut rencana yang ia tetapkan, dan dapat digunakan untuk membandingkan kinerja anak perusahaan. Walaupun demikian, metode tersebut merupakan dasar yang layak untuk pengukuran kinerja hanya bila rencana semula logis dan masuk akal. Ini merupakan salah satu bahaya dari teknik perbandingan terhadap rencana. Bahaya lainnya adalah bahwa usaha yang dicurahkan manajer terhadap rencana semakin dikuatkan oleh keinginan untuk melampaui ekspektasi rencana. Contohnya, mereka mungkin dengan sengaja memproyeksikan gambar yang buram. Walaupun demikian, bila proses perencanaan dan penganggaran cukup hati-hati, partisipatif, dan jujur, maka kedua bahaya ini dapat diminimalkan.

ECONOMIC VALUE ADDED
Salah satu alat yang digunakan perusahaan untuk mengukur kinerja adalah economic value added (EVA), yang disebut para ekonom sebagai laba ekonomi. Pada dasarnya, EVA merupakan laba operasi setelah pajak dikurangi total biaya modal tahunan. Ini merupakan suatu ukuran atas nilai yang bertambah atau berkurang dari nilai pemegang saham dalam satu periode. EVA yang positif mensyaratkan bahwa suatu perusahaan memperoleh pengembalian atas asetnya yang melebihi biaya hutang dan ekuitas, sehingga ditambahkan ke nilai pemegang saham. EVA merupakan jumlah moneter yang aktual dari nilai tambah, dan mengukur perubahan dalam nilai untuk satu periode. EVA juga digunakan terutama untuk evaluasi kinerja dan kompensasi dibandingkan untuk tujuan penganggaran modal. EVA dihitung sebagai berikut:
ROIC     Return on Invested Capital: laba operasi dikurangi pajak tunai yang dibayarkan dibagi rata-rata modal yang diinvestasikan.
WACC  Weighted Average Cost of Capital: (biaya hutang bersih x % hutang yang digunakan) + (biaya modal bersih x % modal yang digunakan)
AIC        Average Invested Capital: rata-rata ekuitas pemegang saham + rata-rata hutang

EVA = [ROIC – WACC] x AIC
Contoh:
Total pendapatan                                                   $ 6500   (juta)
Total biaya                                                                4000
Total beban operasi                                                   1800
Pajak tunai yang dibayarkan                                       230
Ekuitas pemegang saham (rata-rata)                         1500
Hutang (rata-rata)                                                     2370
Biaya hutang setelah pajak                                       5,5%
% hutang yang digunakan                                         40%
Biaya ekuitas                                                             15%
% ekuitas yang digunakan                                         60%

Laba Operasi = 6500 – 4000 – 1800 – 230 = 470

AIC        =  1500 + 2370 = 3870
ROIC     =  470 / 3870 = 12,1%
WAAC   =  (5,5% x 0,40) + (15% x 0,60) = 11,2%
EVA       =  (12,1% - 11,2%) x 3870 = 34,83

            Walaupun EVA dalam contoh ini tidak dalam jumlah besar, ROIC lebih besar dari biaya modal, sehingga perusahaan menambahkan nilai pemegang saham. Sekarang beberapa perusahaan mengungkapkan EVA dalam laporan tahunannya – sebuah contoh yang menarik diberikan oleh Infosys Technologies dari India.
            Infosys menghitung EVA dalam laporan keuangan konsolidasinya menurut GAAP India. Karena Infosys memiliki operasi di luar India, maka ia harus memastikan bahwa informasi keuangan harus pertama kali dikonversi kembali ke GAAP India, dan kemudian ia harus menerjemahkan informasi mata uang asing ke dalam rupee India. Perbedaan dalam standar akuntansi sebagaimana nilai mata uang yang berubah-ubah dapat mempengaruhi perhitungan EVA. Di samping perbedaan-perbedaan dalam praktik akuntansi ini, globalisasi juga mempengaruhi input yang dibutuhkan untuk menghitung EVA. Manajer harus mempertimbangkan risiko yang melekat pada investasi internasional untuk memperoleh biaya yang tepat atas hutang dan ekuitas. Contohnya, biaya ekuitas harus disesuaikan dengan risiko spesifik negara untuk mencerminkan biaya investasi sebenarnya di negara itu. Karena semua alasan tersebut, memperoleh EVA secara akurat bagi perusahaan multinasional membutuhkan pemahaman yang jelas tentang beberapa pasar di mana perusahaan beroperasi.

BALANCED SCORECARD
            Konsep Balanced Scorecard merupakan pendekatan lain untuk pengukuran kinerja yang penggunaannya oleh perusahaan-perusahaan semakin meningkat, terutama di Amerika Serikat dan Eropa. Pendekatan ini berusaha keras untuk menghubungkan lebih dekat perspektif strategis dan finansial dari suatu bisnis. Dikembangkan oleh Kaplan dan Norton (1992), pendekatan ini memiliki pandangan yang luas tentang kinerja bisnis. Balanced Scorecard menyediakan sebuah kerangka kerja untuk melihat strategi penciptaan nilai dari perspektif-perspektif berikut:
1.        Finansial – pertumbuhan, profitabilitas, dan risiko dari perspektif pemegang saham.
2.        Pelanggan – nilai dan diferensiasi dari perspektif pelanggan.
3.        Proses bisnis internal – prioritas atas berbagai proses bisnis yang menciptakan kepuasan pelanggan dan pemegang saham.
4.  Pembelajaran dan pertumbuhan – prioritas untuk menciptakan iklim yang mendukung perubahan organisasi, inovasi, dan pertumbuhan.
            Walaupun fokusnya tetap diutamakan pada kinerja keuangan, pendekatan balanced scorecard mengungkapkan pendorong dari kinerja kompetitif jangka panjang secara sederhana, pembelajaran dan pertumbuhan membantu menciptakan proses bisnis yang lebih efisien, yang menciptakan nilai bagi pelanggan, yang memberikan imbalan finansial bagi perusahaan. Tantangannya adalah untuk mengidentifikasikan secara jelas pendorong-pendorong tersebut, menyetujui ukuran-ukuran yang relevan, dan untuk mengimplementasikan sistem baru pada semua level organisasi. Aspek signifikan mengenai pendekatan pengukuran ini adalah bahwa pendekatan tersebut juga menciptakan suatu fokus bagi masa depan karena ukuran-ukuran yang digunakan mengkomunikasikan kepada manajer apa yang penting.
            Walaupun Balanced Scorecard perusahaan merupakan alat strategis pemilik dan biasanya tidak tersedia bagi masyarakat umum, prinsip-prinsipnya jelas dalam keputusan strategis yang dibuat oleh perusahaan multinasional. IKEA, perusahaan Swedia, merupakan suatu contoh kasus dalam hal ini. Dengan kebudayaan Swedia yang mengakar kuat dan gaya operasi yang tersentralisasi, IKEA tumbuh menjadi pedagang furnitur terbesar di dunia. Perusahaan tersebut menggunakan sebuah strategi global untuk mengembangkan konsep sederhana: untuk menawarkan jangkauan yang lebih luas akan furnitur pada harga yang serendah mungkin. Kesuksesan IKEA dimulai dari pembelajaran dan pertumbuhan internal dengan memastikan bahwa seluruh karyawan dilatih dalam mentalitas penghematan biaya, tidak lepas tangan, dan berfokus pada pelanggan. Ini memungkinkan karyawan untuk fokus pada penciptaan proses efisien yang membuat biaya terus turun. Contohnya, tim desain terus mencari bahan baku dan supplier baru untuk menurunkan biaya furnitur tanpa mengorbankan kualitas. Sejak didirikan, IKEA mengidentifikasikan basis pelanggan yang akan mendapatkan nilai dalam furnitur yang inovatif dan berbiaya rendah: pasangan muda yang ingin melengkapi apartemen pertamanya dengan furnitur. Perpaduan strategis ini telah mengakibatkan perusahaan ini mengalami pertumbuhan fenomenal.
            Walaupun Balanced Scorecard menawarkan keuntungan dengan menghubungkan kinerja keuangan dengan pendorong / penggerak nonkeuangannya secara logis, menetapkan suatu kartu skor yang terpadu untuk perusahaan multinasional memiliki tantangan tersendiri. Contohnya, seiring pertumbuhan IKEA, ia menghadapi basis pelanggan yang berbeda di negara berbeda. IKEA juga harus memastikan bahwa lini produknya yang efisien memiliki daya tarik di beberapa pasar operasinya. Kompleksitas budaya, geografi, dan finansial dari sebuah perusahaan multinasional membuatnya tertantang untuk menetapkan seperangkat ukuran kinerja sebab-akibat dan saling berhubungan. Tugas ini tampak lebih sederhana bagi perusahaan multinasional dengan strategi global seperti IKEA.
            Boleh jadi Balanced Scorecard membantu menyelesaikan banyak dilema pengendalian dan evaluasi yang dikemukakan dalam chapter ini. Penggunaan yang memadai dari BSC membantu manajer menghindari penggunaan hanya satu ukuran kinerja (seperti ROI atau pertumbuhan penjualan), dan memaksa mereka untuk menghubungkan ukuran keuangan dengan faktor-faktor nonkeuangan yang menggerakkannya. Selain itu, anak perusahaan dievaluasi berdasarkan seperangkat dasar kinerja yang terpadu daripada hanya satu dasar yang mungkin atau tidak dikendalikan secara langsung oleh anak perusahaan tersebut. Oleh karena itu, Kaplan dan Norton (2001) telah menyaring konsep BSC ke dalam sistem manajemen strategis yang menggantikan fokus tradisional di mana anggaran sebagai pusat bagi proses manajemen.

DAFTAR RUJUKAN
Radebaugh, Gray, dan Black, 2006, International Accounting and Multinational Enterprises, 6Ed, John Wiley &Sons, Inc, USA


0 Comments:

Post a Comment



By :
Free Blog Templates